Wednesday, October 19, 2011

Aku bukan anak haram

pria muda, gagah dan tegap itu pun menitikan air mata.

"yah, rumah tua ini yang bisa membuatku menitikan air mata." sambil tersenyum ke seorang wanita cantik yang ada disebelahnya.

----------------------------------------------------------------------------------------------------
Kehidupan memang tidak selamanya indah kadang bisa rumit kadangpun bias susah. Itu yang terjadi kepada setiap manusia. Bagi siapapun pasti itu menjadi kendala yang sangat rumit. Entah kenapa itu datang begitu saja. Semua yang terjadi pasti ada hikmahnya. Itu menurut pepatah , tapi tidak menurutku.

Semua berawal dari 24 tahun silam, ketika bayi mungil bernama Gilang Ramadhan lahir ke dunia ini. Tangisan kencangku di sambut oleh senyuman seorang wanita berkulit keriput yang tidak lain dan tidak bukan adalah nenekku sendiri, dan tangisan bahagia dari seorang ibu muda.

Entah kenapa semua itu teringat seperti misteri. Semua tidak menginginkan nya. Tak tau apa yang ada dalam hidup ku ini. Aku selalu bertanya… “kenapa, kenapa seperti ini ?. apa yang salah dari diriku ? kenapa harus aku ?”. sejak kecil diriku selalu tersisih oleh yang lain. Aku pun tak tau mengapa.

Lagi-lagi ingatanku terbuka ketika melihat rumah tua ini, semua kejadian yang pernah ku alami tak pernah sirna dari pikiran ku. Mungkin mereka sudah lupa !.

Waktu umurku di bawah 5 tahun semua yang ku almi sangat buruk. Bayangkan seorang anak kecil di bawah 5 tahun di jauhi oleh anak sebayanya “mengapa ?” kalian lihat anak ayam dan induknya ?, anak ayam selalu mengikuti apa yang di lakukan dan di perintahkan induknya. Sama seperti itu mereka pun mengikuti apa kata orang tuanya.

Orang orang itu tak jauh adalah saudaraku sendiri. Ya seperti itu, anak anaknya tidak di perbolehkan main dengan ku. Mereka bilang aku anak haram.

Ibuku seorang wanita yang tangguh, tegar, dan penuh kasih sayang. Beliau hanya seorang penjahit rumahan, kehidupan kami bergantung pada belas kasihan pelanggan-pelanggan ibu. Ayah? sampai detik ini pun aku tak tahu bagaimana wujud ayahku, dan aku tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah.

Ketika umurku 8 tahun, aku sempat berontak dengan keadaanku.
Aku berebutan mainan dengan teman seumuranku, karna tubuhku yang lebih kuat maka mainan itu jatuh ketanganku sampai-sampai temanku itu menangis. Ibu temanku itu menghampiri kita dan langsung membentakku "Dasar anak haram, bisanya cari masalah saja". Aku hanya bisa menangis sambil berlari menuju rumah. Sampainya dirumah aku bertanya kepada Ibu sambil menangis. "Ibu, apa itu anak haram? kenapa teman-temanku tidak mau bermain denganku? kenapa mereka menyebutku anak haram?". Ibu langsung memelukku sambil berbicara "Gilang sayang, gilang bukan anak haram, gilang anak Ibu, biarkan saja mereka bilang apapun tentang Gilang ataupun Ibu. Gilang tetap anak Ibu yang paling Ibu sayang".

Sejak saat itu aku tidak pernah peduli apa kata orang lain. Yang paling penting dalam hidupku adalah Ibu.

Tapi lama kelamaan Ibu tidak kuat dengan cemoohan sekitar, bahkan cemoohan dari saudara-saudaraku sedniri. Ibu mengajakku pindah rumah. Dirumah yang baru perekonomian kami membaik, makin banyak orang yang memakai jasa Ibu. Akupun sudah masuk Sekolah Menengah Pertama di salah satu SMP Negeri Unggulan di daerahku dengan beasiswa. Setidaknya aku bisa meringankan beban Ibu untuk biaya sekolah.

Umur Ibu kini sudah tidak muda lagi. Pada sore hari ketika Ibu sedang menyiram tanaman, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada Ibu siapa ayahku sebenarnya.

Ibu langsung menaruh selang yang sedang ia pegang dan duduk disampingku. Beliau menjelaskan kenapa semuanya harus kami alami. Dulu aku memiliki seorang ayah, Ayahku seorang pria yang tampan dan gagah, wajahnya juga mirip sekali denganku. Ini aku ketahui ketika Ibu memperlihatkan sebuah foto hitam putih lama miliknya. Ketika aku masih dalam kandungan, Ayah terpaksa meninggalkan kami. Beliau menyalonkan diri sebagai salah satu pemimpin di daerah, dan untuk memenagkan pemilihan itu Ayah harus menikah dengan seorang wanita dari salah satu anak pemimpin terdahulunya. Yah . . jabatan memang lebih penting menurutnya. Beliau tega meninggalkan Ibu sendirian dengan diriku yang masih berada dalam kandungannya tanpa memenuhi kewajibannya sebagai Ayah. Dunia sudah membuat Ayahku gila. Tapi bagaimanapun dia tetap ayahku, dan aku tetap sayang kepadanya walaupun sampai detik ini aku tidak pernah berkomunikasi bahkan bertatap muka dengan beliau.

:)

No comments:

Post a Comment